Haloo
semuanya. Kali ini aku mau sharing cerita tentang raja yang rakus. Raja ini
sangat rakus dalam hal makanan favoritnya. Apapun akan dilakukan untuk
mendapatkan makanan favoritnya tersebut. Namun, suatu ketika makanan favoritnya
kehabisan stock dan apa yang terjadi?
Cari tau cerita selengkapnya
dibawah ini. Selamat menikmati :)
Siang Gantung
Pada zaman
dahulu, konon pernah berdiri sebuah kerajaan di Kalimantan Selatan. Rajanya
bernama Sang Hiyang. Wilayah kekuasaannya cukup luas dan sebagian kawasannya
terdiri dari daerah perairan. Sesuai dengan alam lingkungannya, mata
pencaharian utama penduduknya menangkap ikan dan bertani.
Meskipun
kerajaan itu terkenal sebagai penghasil ikan, namun sang Raja tidak suka
menyantap daging ikan. Hanya usus ikan yang baginda sukai. Setiap saat baginda sedang
makan, aneka masakan usus ikan harus ada di meja hidangan. Jika tidak, baginda
akan marah. Untuk itulah permaisuri menugaskan seorang juru masak khusus yang
sesuai dengan selera raja.
Suatu
hari, terjadi paceklik ikan. Para nelayan harus mengayuh rakit kayu setengah
hari untuk sampai ke tempat yang diperkirakan ada ikannya. Itupun hasilnya
belum memadai. Sulitnya mendapatkan ikan berarti kesulitan juga dalam
mendapatkan usus ikan kesukaan sang Raja. Baginda sendiri tak mau tau akan
kesulitan itu. Bagi baginda, usus ikan harus tersedia bagaimana pun cara untuk
mendapatkannya.
Suatu
pagi, seperti biasa juru masak membersihkan usus ikan di rakit kayu yang
digunakan sebagai tempat mandi dan cuci yang biasa didapat di sepanjang sungai.
Malang tak dapat ditolak. Ketika ia mengusir gigitan nyamuk yang hinggap di
pangkal lengan kirinya dan tidak sengaja menyenggol tempat usus ikan yang sudah
dibersihkan. Seluruh isinya tumpah ke sungai. Arus yang deras mempercepat
larutnya bahan masakan. Juru masak bingung karena ia tahu persediaan telah
habis. Sementara waktu santap raja tak munngkin ditunda.
Hukuman
yang akan diterimanya sudah membayang. Sambil menahan tangis, ia menceritakan
peristiwa yang baru saja terjadi kepada suaminya. Sang suami pun termenung. Ia
ingat sesuatu ketika ia melangkah di tebing sungai. Dengan cepat ia berbalik ke
tempat yang dimaksud.
Tangannya
mengais-ngais tanah di tepian. Dua, tiga ekor cacing tanah yang besar-besar ia
raup.Ia terus mengulanginya sampai ia berhasil mengumpulkan cacing segayung
mandi.
“Pulanglah.
Dan masaklah ini sebagaimana biasa!” ujarnya kepada istrinya. Pada awalnya
istrinya menolak, namun setelah diingatkan akan hukuman yang akan diterima, ia
dengan cepat ke dapur memasak makanan untuk sang Raja.
Santapan
pagi untuk sang Raja telah bersedia. Baginda Sang Hiyang dengan lahap menikmati
hidangan “usus ikan” yang rasanya lebih nikmat dari biasa. Sebagaimana biasa,
seusai makan sang Raja berleha-leha duduk di balai perangin-anginan. Kenikmatan
masakan yang beliau santap berkesan di hatinya.
“Punggawa,
panggilkan si juru masak!” kata sang Raja kepada pengawalnya. Ketika dipanggil,
seluruh tubuh si juru masak gemetar. Tak diragukan lagi, sang Raja akan
menghukumnya. Dengan khawatir dan sangat ketakutan, ia pun datang menghadap raja.
“Masakanmu
pagi ini jauh lebih enak dari biasa, “ puji sang Raja. Namun, pujian itu
seperti paku yang dipalukan ke kepalanya. Hati juru masak semakin bergejolak.
“Benarkah
apa yang Paduka katakan?” juru masak bertanya dengan memberanikan diri.
“Iya
benar. Sepertinya engkau telah menemukan usus ikan jenis tertentu sehingga
nikmatnya terasa berbeda.” Kata Raja.
Sejenak,
si juru masak menjadi bimbang. Haruskah ia berdusta atau mengatakan yang
sebenarnya. Apa juga nanti hukuman yang diterimanya jika ketahuan telah berani
membohongi raja. Jika nantinya usus ikan yang asli sudah tersedia dan ternyata
kenikmatan yang dirasakan raja berbeda dengan suguhannya pagi tadi, apa juga
yang harus diucapkannya? Untuk sebuah kenikmatan, jelas baginda akan terus
menuntut.
Akhirnya,
si juru masak memutuskan untuk mengakatan yang sebenarnya. Dengan alasan takut
diketahui pihak lain, si juru masak memohon agar ia dapat berbicara berdua saja
dengan Raja Sang Hiyang.
Kemudian,
si juru masak pun mengatakan yang sejujurnya. Dia pasrah menerima hukuman. Sang
Raja kaget mendengar pengakuan yang jujur dari juru masaknya. Kekagetan sang
Raja membuat juru masak menjadi lebih tegang.
“Haaa....
haaa... haaa... sekantong emas akan kuhadiahkan untukmu.” Kata sang Raja. Si
juru masak mendengarnya sebagai: “Ditenggelamkan sampai lemas itu hukumanmu.”
Ia pasrah saja. Ia menanti tubuhnya diikat, diseret ke sungai lalu ditenggelamkan
di dalam air sampai mati. Akan tetapi, ia tak merasa ada punggawa yang
mengikatnya.
Apalagi
menyeretnya. Malah sebaliknya, sebongkah logam emasa dijatuhkan di hadapannya.
Ternyata
Sang Raja tak marah, malah memberinya hadiah. Sambil mengambil hadiah itu, ia
berjanji agar terus menghidangkan masakan “usus ikan” yang sangat berkesan di
lidah sang Raja secara rahasia.
Beberapa
tahun kemudian, sang Raja semakin rakus menyantap cacing tanah sebagai makanan
paling nikmat. Si juru masak dan suaminya akhirnya mendapatkan kesulitan untuk
mengumpulkan cacing sesuai keperluan santapan raja. Kesulitan itu dirasakan
juga oleh rajanya cacing tanah yang melihat rakyatnya terus menerus menjadi korban
kerakusan Raja Sang Hiyang. Raja cacing pun murka dan membalas dendam.
Cacing-cacing yang tersisa diperintahkan oleh rajanya untuk berkumpul guna
mengadakan pembalasan kepada Raja Sang Hiyang.
Suatu
pagi, Sang Hiyang sangat kaget melihat kumpulan cacing yang sangat banyak
merayap, menggeliat memenuhi lantai istananya. Sebagian besar dari binatang itu
bergerak dengan lambat tetapi pasti dengan tujuan ke singgasana sang Raja.
Anehnya,
cuma Raja Sang Hiyang yang menyaksikan kejadian itu. Sang Raja berlari kesana
kemari sambil berteriak minta tolong. Jubah sang Raja Hiyang telah ditempeli ribuan
ekor cacing. Kamarnya juga telah menjadi sarang cacing. Seluruh ruang istana
telah menjadi lautan cacing. Tidak ada lagi ruangan kosong yang tak diisi
cacing.
Menjelang
matahari terbit, pasukan cacing mengurangi gerakan. Kebanyakan di antara mereka
diam sembunyi di tempat teduh. Pada saat itulah Raja Sang Hiyang
melompat-lompat melangkah ke luar istana. Selangkah, dua langkah, pasukan
cacing masih tak bergerak. Namun, pada langkah yang kelima belas, dengan serempak
cacing-cacing bergerak, bergelombang mengikuti langkah sang Raja sambil
mengepung.
Ketakutan
Raja Sang Hiyang sudah mencapai puncaknya. Bergegas ia menaiki pohon yang ada
di hadapannya. Dengan susah payah, sampailah ia pada sebuah dahan yang tidak
seberapa tingginya dari tanah. Dari sanalah ia menyaksikan gumpalan, berupa
gerakan pasukan cacing memusatkan penyerangannya, menanti kapan Raja Sang
Hiyang turun ke tanah.
Semalam
sudah berlalu. Pasukan cacing masih menghadang. Tiga hari tiga malam sudah
dilewati. Pasukan cacing di sekeliling pohon tempat Sang Hiyang berlindung
telah menyerupai gundukan tanah. Semakin tinggi dan semakin meninggi. Besok atau
lusa tidak mustahil gundukan itu sudah mencapai tempat Raja Sang Hiyang
mengamankan diri.
Ngeri
dan ketakutan yang sangat, membuat Raja Sang Hiyang berbuat nekat. Baju disobek
dan dibuat tali. Ujungnya diikatkan ke dahan yang lebih atas. Ujung paling bawah
diikatkan ke leher.
Esoknya,
kerajaan menjadi gempar. Baginda Sang Hiyang ditemukan menggantung diri di
sebatang pohon di belakang istana.
“Sang
Hiyang mati tergantung,” begitu kata pengawal istana yang awal menemukannya.
Berita itu cepat menyebar dari mulut ke mulut ke seluruh negeri. Di kawasan
yang paling ujung, berita yang terdengar adalah “ Sang Hiyang tergantung” dan
selanjutnya berubah menjadi “Siang Gantung.”
*THE END*
Oke itu dia ceritanya, semoga
kita dapat mengambil pelajaran dari cerita tersebut ya J Dan jangan lupa ya dishare
supaya angka kerakusan di dunia ini berkurang :D Thank you
No comments:
Post a Comment